“Salah
Kaprah Pelegalan Zina Pada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021”
Muhammad
Muflih Gani
Memasuki
akhir tahun 2021, publik khususnya netizen Indonesia dihebohkan dengan
munculnya narasi pelegalan zina dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sejak awal mencuatnya permendikbud ini,
gelombang ketidaksetujuan dan seruan pencabutan ramai membanjiri lini masa
sosial media dan pemberitaan, pro-kontrapun tidak bisa terelakkan. Permendikbud
tersebut dituding berbenturan dengan Pancasila sebab menjadi pintu masuknya
budaya liberal barat yang dikhawatirkan merusak nilai luhur bangsa dan
menciderai norma kesusilaan dan agama
yang dikenal kuat mengakar di Indonesia sebab dianggap melegalkan perbuatan
perzinahan. Bahkan salah seorang anggota DPR RI menuding Permendikbud 30 Tahun
2021 ini bukan hanya melegalkan zina tetapi juga perilaku LGBT. Sebenarnya
tidak ada satupun frasa dalam Permendikbud ini yang melegalkan kedua perbuatan
tersebut, perdebatan dan perseturuan pihak yang pro dan kontra bermula dari
adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang termuat dalam Pasal 5 ayat
2 huruf L & M Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang berbunyi :
(L)
“Menyentuh , mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan
bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban ;”
(M)
Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;”
Adanya
frasa “tanpa persetujuan korban” ini dikenal dengan konsep ‘consent’ yang
secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan
(voluntary agreement). Frasa itu pula yang membuat masyarakat ribut dan
terbelah. Muncul anggapan bahwa kalau begitu jika ‘korban’ setuju maka
perbuatan seksual tersebut sah-sah saja untuk dilakukan karena tidak dikenai
sanksi hukuman sehingga dapat membuka peluang pelegalan perbuatan zina (seks
bebas). Disinilah perbedaan pemahaman itu bermula. Dimana pihak yang pro
beranggapan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ / consent dalam
Permendikbud 30 sebagai tolak ukur yang penting dan perlu, sementara pihak
kontra beranggapan frasa tersebut dapat membuka peluang perzinahan. Bagi pihak
kontra, pencegahan dan penindakan kekerasan seksual dapat dilakukan dengan
atau tanpa persetujuan (consent) korban.
Menurut penulis pemikiran
pihak yang kontra terhadap Permendikbud 30 Tahun 2021 ini merupakan pemikiran
yang tidak tepat. Ada beberapa hal yang harus dipahami terlebih dahulu.
Pertama, penulis berada dalam posisi bahwa perbuatan zina atau seks bebas memang
merupakan hal yang salah baik secara agama maupun norma kesusilaan dan jelas
bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kedua, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini hanya berlaku di
lingkungan perguruan tinggi saja dan tidak mengikat masyarakat Indonesia secara
keseluruhan. Ketiga, kita harus memahami bahwa Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021
sesuai peruntukannya hanya berfokus mengatur tentang pencegahan dan penganan kekerasan
seksual saja sehingga sentralisasi dalam permendikbud ini terletak pada korban.
Jika kita mengacu pada KBBI, korban bermakna orang yang mengalami penderitaan
fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak
pidana. Nah, untuk dikategorikan sebagai korban, konsep ‘consent’ itu
diperlukan. Sebab hanya mereka yang tidak mengizinkan atau
tidak menghendaki penderitaan fisik ataupun mental kepada dirinya sajalah yang
dapat dikategorikan sebagai korban. Jika perbuatan seksual itu dilakukan dengan
persetujuan kedua belah pihak maka jelas perbuatan tersebut tidak dapat
digolongkan sebagai kekerasan seksual karena tidak ada korban yang timbul
dan dengan demikian perbuatan itu terjadi atas dasar suka sama suka sehingga
jelas tergolong sebagai perbuatan seks bebas yang mana seks bebas ini sama
sekali tidak terkait dan tidak menjadi bahasan ataupun fokus dalam Permendikbud
30 Tahun 2021 ini. Selain itu, dengan adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’,
perbuatan kekerasan seksual itu dapat dibuktikan dengan kuat sebab frasa
tersebut dapat dijadikan unsur terjadinya eksploitasi pelaku terhadap korban.
Sehingga penolakan terhadap Permendikbud 30 Tahun 2021 ini karena dianggap
melegalkan zina merupakan penolakan yang salah alamat.
Lagipula, menurut penulis
pertanyaan pentingnya harusnya, “Apakah dengan tidak disahkannya
Permendikbud 30 Tahun 2021 ini angka perzinahan di Indonesia atau perguruan
tinggi akan berkurang?” Saya yakin jawabannya adalah tidak. Sebab hingga
saat ini belum ada ketentuan ataupun peraturan yang menggolongkan perilaku
zina/seks bebas sebagai tindak pidana sehingga kita tidak bisa memidanakan
orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut. Lantas timbul pertanyaan baru, mengapa
tidak diatur saja dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 ini? Ya karena sedari awal
Permendikbud ini hanya berfokus untuk mengatur pencegahan dan perlindungan
terhadap korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bukan tentang
seks bebas yang tidak menimbulkan korban. Sehingga pelarangan zina secara sah
di mata hukum seharusnya diatur dalam ketentuan lain diluar Permendikbud Nomor
30 Tahun 2021 ini. Logika yang sama dapat diumpakan seperti bagaimana mungkin
seorang pedagang khusus telur ayam dapat menjual 1 rak telur ayam jika di
dalamnya tercampur telur bebek?
Pertanyaan penting
lainnya adalah, “Apakah dengan disahkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021
ini akan membuat korban pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi dapat
memiliki landasan hukum yang kuat untuk memidanakan pelaku?” Maka
jawabannya adalah iya! Sebab Permendikbud ini mengatur pencegahan dan
penindakan kejahatan seksual bukan hanya
yang sifatnya fisik tetapi juga non-fisik. Dimana seringkali korban tidak bisa
melaporkan pelecehan yang dialaminya sebab pembuktian kekerasan dan pelecehan
seksual selama ini hanya sebatas perbuatan fisik belaka. Padahal perbuatan
kejahatan seksual non-fisik juga berakibat fatal bagi korban dan jumlahnya terus
meningkat. Bahkan menurut data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020
menunjukkan dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari
lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi.
Dimana 63% korban yang mayoritasnya adalah perempuan tidak ingin melaporkan
kasusnya kepada pihak kampus dan memilih untuk diam karena takut dan tidak
memiliki landasan hukum yang kuat.
Kalau begitu, apakah ada win-win
solution mengenai masalah ini? Ada! Salah satu caranya adalah kita dapat
terus mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) menjadi undang-undang yang saat ini masih dalam tahap
pembahasan di DPR RI. Sebab di dalam RUU KUHPidana tersebut perbuatan zina /
seks bebas di luar pernikahan dapat dipidana penjara 6 bulan hingga 1 tahun.
Jadi, mereka yang menolak pengesahan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dengan
kekhawatiran Permendikbud tersebut akan melegalkan perzinahan (padahal tidak)
sebaiknya mulailah menggaungkan dukungan terhadap RUU KUHPidana ini dibanding terus
membuat konten penolakan terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.
Karena pada akhirnya,
jika RUU KUHPidana ini telah sah menjadi undang-undang, maka otomatis ia akan
melengkapi Permendikbud 30 Tahun 2021 tadi yang hanya berfokus pada pencegahan
dan penanganan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi saja. Dengan
adanya RUU KUHPidana maka perbuatan zina juga akan terlarang dan memiliki
implikasi pidana. Lagipula, RUU KUHPidana ketentuannya akan mencakup seluruh
masyarakat Indonesia, tidak hanya sebatas lingkup perguruan tinggi saja
sebagaimana Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Pihak yang pro-kontra pun dapat
dengan tenang menjalani hidup tanpa perlu saling menyalahkan dan menyerang.
0 komentar:
Post a Comment
Aturan saat berkomentar:
Komentar anda merupakan acuan bagi blog kami.Untuk itu mari berkomentar secara sehat dan pastikan komentar anda tak membuat orang lain terganggu.
-Admin CMuS Palu-
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.