Berlangganan untuk Update Gratis!

Nantikan Update terbaru dari Cmus Palu :)

Friday 14 January 2022

Salah Kaprah Pelegalan Zina Pada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021

 

“Salah Kaprah Pelegalan Zina Pada Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021”

Muhammad Muflih Gani

Memasuki akhir tahun 2021, publik khususnya netizen Indonesia dihebohkan dengan munculnya narasi pelegalan zina dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sejak awal mencuatnya permendikbud ini, gelombang ketidaksetujuan dan seruan pencabutan ramai membanjiri lini masa sosial media dan pemberitaan, pro-kontrapun tidak bisa terelakkan. Permendikbud tersebut dituding berbenturan dengan Pancasila sebab menjadi pintu masuknya budaya liberal barat yang dikhawatirkan merusak nilai luhur bangsa dan menciderai norma kesusilaan dan  agama yang dikenal kuat mengakar di Indonesia sebab dianggap melegalkan perbuatan perzinahan. Bahkan salah seorang anggota DPR RI menuding Permendikbud 30 Tahun 2021 ini bukan hanya melegalkan zina tetapi juga perilaku LGBT. Sebenarnya tidak ada satupun frasa dalam Permendikbud ini yang melegalkan kedua perbuatan tersebut, perdebatan dan perseturuan pihak yang pro dan kontra bermula dari adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’ yang termuat dalam Pasal 5 ayat 2 huruf L & M Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 yang berbunyi :

(L) “Menyentuh , mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban ;”

(M) Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;”

Adanya frasa “tanpa persetujuan korban” ini dikenal dengan konsep ‘consent’ yang secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement). Frasa itu pula yang membuat masyarakat ribut dan terbelah. Muncul anggapan bahwa kalau begitu jika ‘korban’ setuju maka perbuatan seksual tersebut sah-sah saja untuk dilakukan karena tidak dikenai sanksi hukuman sehingga dapat membuka peluang pelegalan perbuatan zina (seks bebas). Disinilah perbedaan pemahaman itu bermula. Dimana pihak yang pro beranggapan frasa ‘tanpa persetujuan korban’ / consent dalam Permendikbud 30 sebagai tolak ukur yang penting dan perlu, sementara pihak kontra beranggapan frasa tersebut dapat membuka peluang perzinahan. Bagi pihak kontra, pencegahan dan penindakan kekerasan seksual dapat dilakukan dengan atau tanpa persetujuan (consent) korban.

Menurut penulis pemikiran pihak yang kontra terhadap Permendikbud 30 Tahun 2021 ini merupakan pemikiran yang tidak tepat. Ada beberapa hal yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, penulis berada dalam posisi bahwa perbuatan zina atau seks bebas memang merupakan hal yang salah baik secara agama maupun norma kesusilaan dan jelas bertentangan dengan Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini hanya berlaku di lingkungan perguruan tinggi saja dan tidak mengikat masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Ketiga, kita harus memahami bahwa Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 sesuai peruntukannya hanya berfokus mengatur tentang pencegahan dan penganan kekerasan seksual saja sehingga sentralisasi dalam permendikbud ini terletak pada korban. Jika kita mengacu pada KBBI, korban bermakna orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Nah, untuk dikategorikan sebagai korban, konsep ‘consent’ itu diperlukan.   Sebab hanya mereka yang tidak mengizinkan atau tidak menghendaki penderitaan fisik ataupun mental kepada dirinya sajalah yang dapat dikategorikan sebagai korban. Jika perbuatan seksual itu dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak maka jelas perbuatan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai kekerasan seksual karena tidak ada korban yang timbul dan dengan demikian perbuatan itu terjadi atas dasar suka sama suka sehingga jelas tergolong sebagai perbuatan seks bebas yang mana seks bebas ini sama sekali tidak terkait dan tidak menjadi bahasan ataupun fokus dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 ini. Selain itu, dengan adanya frasa ‘tanpa persetujuan korban’, perbuatan kekerasan seksual itu dapat dibuktikan dengan kuat sebab frasa tersebut dapat dijadikan unsur terjadinya eksploitasi pelaku terhadap korban. Sehingga penolakan terhadap Permendikbud 30 Tahun 2021 ini karena dianggap melegalkan zina merupakan penolakan yang salah alamat.

Lagipula, menurut penulis pertanyaan pentingnya harusnya, “Apakah dengan tidak disahkannya Permendikbud 30 Tahun 2021 ini angka perzinahan di Indonesia atau perguruan tinggi akan berkurang?” Saya yakin jawabannya adalah tidak. Sebab hingga saat ini belum ada ketentuan ataupun peraturan yang menggolongkan perilaku zina/seks bebas sebagai tindak pidana sehingga kita tidak bisa memidanakan orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut. Lantas timbul pertanyaan baru, mengapa tidak diatur saja dalam Permendikbud 30 Tahun 2021 ini? Ya karena sedari awal Permendikbud ini hanya berfokus untuk mengatur pencegahan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Bukan tentang seks bebas yang tidak menimbulkan korban. Sehingga pelarangan zina secara sah di mata hukum seharusnya diatur dalam ketentuan lain diluar Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini. Logika yang sama dapat diumpakan seperti bagaimana mungkin seorang pedagang khusus telur ayam dapat menjual 1 rak telur ayam jika di dalamnya tercampur telur bebek?

Pertanyaan penting lainnya adalah, “Apakah dengan disahkannya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini akan membuat korban pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi dapat memiliki landasan hukum yang kuat untuk memidanakan pelaku?” Maka jawabannya adalah iya! Sebab Permendikbud ini mengatur pencegahan dan penindakan kejahatan seksual  bukan hanya yang sifatnya fisik tetapi juga non-fisik. Dimana seringkali korban tidak bisa melaporkan pelecehan yang dialaminya sebab pembuktian kekerasan dan pelecehan seksual selama ini hanya sebatas perbuatan fisik belaka. Padahal perbuatan kejahatan seksual non-fisik juga berakibat fatal bagi korban dan jumlahnya terus meningkat. Bahkan menurut data Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020 menunjukkan dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan tinggi. Dimana 63% korban yang mayoritasnya adalah perempuan tidak ingin melaporkan kasusnya kepada pihak kampus dan memilih untuk diam karena takut dan tidak memiliki landasan hukum yang kuat.

Kalau begitu, apakah ada win-win solution mengenai masalah ini? Ada! Salah satu caranya adalah kita dapat terus mendukung pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi undang-undang yang saat ini masih dalam tahap pembahasan di DPR RI. Sebab di dalam RUU KUHPidana tersebut perbuatan zina / seks bebas di luar pernikahan dapat dipidana penjara 6 bulan hingga 1 tahun. Jadi, mereka yang menolak pengesahan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dengan kekhawatiran Permendikbud tersebut akan melegalkan perzinahan (padahal tidak) sebaiknya mulailah menggaungkan dukungan terhadap RUU KUHPidana ini dibanding terus membuat konten penolakan terhadap Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021.

Karena pada akhirnya, jika RUU KUHPidana ini telah sah menjadi undang-undang, maka otomatis ia akan melengkapi Permendikbud 30 Tahun 2021 tadi yang hanya berfokus pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkup perguruan tinggi saja. Dengan adanya RUU KUHPidana maka perbuatan zina juga akan terlarang dan memiliki implikasi pidana. Lagipula, RUU KUHPidana ketentuannya akan mencakup seluruh masyarakat Indonesia, tidak hanya sebatas lingkup perguruan tinggi saja sebagaimana Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Pihak yang pro-kontra pun dapat dengan tenang menjalani hidup tanpa perlu saling menyalahkan dan menyerang.

 

 

 

 

 

 

Please Give Us Your 1 Minute In Sharing This Post!
SOCIALIZE IT →
FOLLOW US →
SHARE IT →
Powered By: CMuS Palu

0 komentar:

Post a Comment

Aturan saat berkomentar:
Komentar anda merupakan acuan bagi blog kami.Untuk itu mari berkomentar secara sehat dan pastikan komentar anda tak membuat orang lain terganggu.
-Admin CMuS Palu-